By Dwijo Suyono
JOURNAL JOGJA-JAKARTA,– Dalam rangka memperingati 25 Tahun Reformasi, Komunitas Utan Kayu dan Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) berkolaborasi untuk menghadirkan rangkaian acara Tur Buku KPG yang diselenggarakan pada 11, 12, dan 15 Mei 2023 di Semarang dan Yogyakarta.
Reformasi telah melahirkan banyak perubahan. Hal-hal yang dianggap tabu, seperti wacana feminisme dan seksualitas, semakin dapat diperbincangkan. Peringatan seperempat abad peristiwa bersejarah di Indonesia ini bertepatan pula dengan 25 tahun berkarya bagi Ayu Utami, novelis yang namanya muncul pada akhir pemerintahan Orde Baru lewat novel debutnya Saman yang terbit pada 12 Mei.
Oleh karena itu, rangkaian acara tur buku ini dibuka dengan Diskusi Buku Ayu Utami yang bertemakan “25 Tahun Reformasi, Quo Vadis Ayu Utami?”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Taman Indonesia Kaya pada Kamis, 11 Mei 2023 pukul 19.00 WIB di Taman Indonesia Kaya, Semarang. Diskusi buku ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Ayu Utami, Angelika Riyandari (Dosen Fakultas Sastra dan Bahasa Unika Soegijapranata), dan Christina M. Udiani (Editor Senior & Manajer Produksi KPG). Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama antara Taman Indonesia Kaya dan Komunitas Utan Kayu, serta didukung oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Ruang Rabu PLMP, Unika Soegijapranata, Gerakan Indonesia Kita, Hysteria Collective, Bukit Buku, Dewan Kesenian Semarang, dan www.indonesiakaya.com.
Dalam menyambut kegiatan diskusi Buku Ayu Utami “25 Tahun Reformasi, Quo Vadis Ayu Utami?” ini, Bukit Buku yang tergabung dalam komunitas Grobak Hysteria di Semarang bersama Penerbit KPG dan Komunitas Utan Kayu juga menggelar tantangan baca buku "Berbagi Pengalaman Membaca Ayu Utami" di media sosial yang diselenggarakan dari Jumat, 5 Mei 2023 hingga Rabu, 10 Mei 2023 pukul 12.00 WIB. Peserta akan ditantang untuk membuat unggahan konten berupa foto mengulas buku Ayu Utami terbitan KPG di Instagram. 5 Peserta yang beruntung akan mendapatkan paket buku dan merchandise dari Penerbit KPG. Pengumuman dibacakan saat acara Diskusi Buku Ayu Utami di Semarang dan juga melalui media sosial.
Masih di Semarang, rangkaian acara dilanjutkan dengan diskusi buku Membaca Goenawan Mohamad dengan tema “Sastra, Politik, dan Goenawan Mohamad”. Acara ini diselenggarakan pada Jumat, 12 Mei 2023, pukul 15.00 WIB di Monod Diephuis & Co, Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah. Diskusi buku ini menghadirkan narasumber intelektual asal Semarang yaitu Donny Danardono (Pengajar Filsafat Unika Soegijapranata, Penulis), Triyanto Triwikromo (Pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Penulis) dan Triyanto Lukmantoro (Pengajar Fakultas Komunikasi, Universitas Diponegoro). Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Utan Kayu bekerja sama dengan Ruang Rabu PMLP Unika Soegijapranata, dan didukung oleh Unika Soegijapranata, Kepustakaan Populer Gramedia, Gerakan Indonesia Kita, Suara Merdeka, dan Monod Dephuis & Co.
Nirwan Dewanto menggambarkan dalam suratnya untuk Ayu Utami di buku Membaca Goenawan Mohamad (KPG, 2023), pemikiran sastra Goenawan Mohamad ialah upaya memberi landasan kepada puisi modern, "suara sumbang modernitas". "Teori sastra Goenawan ialah ikhtiar untuk memberi kerangka tentang bagaimana menangkap "totalitas yang kita alami dalam pertemuan pertama kita dengan karya", yaitu "karya murni".
Kemudian, rangkaian acara diakhiri dengan diskusi dan bedah buku Membaca Goenawan Mohamad dengan tema "Bahasa Puisi, Ambiguitas, dan Kegamblangan" yang hendak membicarakan dua kutub gagasan dalam pilihan berbahasa tersebut. Dalam acara diskusi buku ini, akan dihadirkan dua pembicara, yaitu St. Sunardi dan Taufiqurrahman. Kegiatan ini diselenggarakan pada Senin, 15 Mei 2023 pukul 15.00 WIB di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam acara ini Komunitas Utan Kayu menggandeng Penerbit KPG dan Universitas Sanata Dharma.
“Goenawan Mohamad lebih mengutamakan “bahasa puisi” dan “ambiguitas” dalam menyampaikan pokok gagasannya. Kegamblangan adalah suatu bentuk dan cara yang seolah dihindari oleh Goenawan Mohamad. Gagasan ini terus Goenawan Mohamad pertahankan sejak ia muncul sebagai penyair dan intelektual pada era 1960-an. Pertanyaannya adalah mengapa? Lalu, apakah ambiguitas dan “bahasa puisi” itu sendiri tidak membawa suatu nilai tertentu?" ujar Alpha Hambally, editor KPG yang ikut menyunting buku Membaca Goenawan Mohamad bersama Ayu Utami.(*)