Sapi yang diternakan (ist)
EKONOMI
OPINI PUBLIK Peternakan Untuk Rakyat(?) Oleh: Juang Gove (Pendiri Peternakan Rakyat Studies)
By Dwijo Suyono
OPINI PUBLIK
Peternakan Untuk Rakyat(?)
Oleh: Juang Gove (Pendiri Peternakan Rakyat Studies)
Yogyakarta -Baru-baru ini menteri Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan,
menyatakan rencana pemerintah mengenai kebijakan impor sapi dari Brazil. Impor sapi ini
terdiri dari daging, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri, sapi indukan
dan sapi perah, untuk membantu meningkatkan produksi ternak.
Sebenarnya kerjasama antara Indonesia dengan Brazil dalam bidang peternakan telah
berlangsung sejak 2017. Secara khusus berkaitan dengan impor bakalan, Indonesia sudah
memiliki preferensi dagang dengan beberapa negara seperti India, Spanyol, Jepang, Selandia
Baru, Australia, dan Amerika Serikat.
Lima Justifikasi
Hemat penulis, pilihan preferensi dagang kepada Brazil memberi keuntungan bagi
Indonesia. Setidaknya ada lima justifikasi. Pertama, seperti yang kita ketahui, selama ini negara
kita menggantungkan sebagian besar impor daging beserta indukan sapi dari Australia.
Ketergantungan ini mendistraksi ketersediaan dan keberlanjutan stok daging dalam negeri. Hal
ini berkaitan dengan kebakaran hutan besar di Australia yang membunuh hewan-hewan ternak.
Sementara kebutuhan daging dalam negeri sangat tinggi, kebakaran hutan di Australia
berdampak pada naiknya harga. Impor sapi dari brazil harus dibaca sebagai upaya pemerintah
dalam menekan harga daging untuk kebutuhan dalam negeri.
Kedua, fakta bahwa jumlah stok sapi Brazil sebagai negara produsen utama lebih tinggi
dari Australia. Menurut data dari United States Department of Agriculture (USDA), dalam urutan
negara produsen utama sapi, Brazil menempati peringkat kedua terbesar, sementara Australia
berada di urutan keenam. Rata-rata jumlah stok sapi yang ada di Brazil sejak tahun 2019 sampai
April 2023 sebanyak 191 juta ekor sapi. Sedangkan itu rata-rata stok sapi yang dimiliki Australia
sebanyak 24 juta ekor.
Ketiga, berkaitan dengan impor indukan sapi, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun
2023 menyatakan bahwa impor ternak indukan mesti berasal dari negara yang bebas dari
penyakit hewan menular. Untuk memberi keamanan, pemerintah melalui Kementerian
Pertanian, memberlakukan karantina minimal 14 hari untuk sapi indukan dan minimal 10 hari
untuk sapi bakalan. Impor sapi dari Brazil membutuhkan waktu 28 hari dan berada di bawah
pengawasan yang ketat. Sapi-sapi berada di ruangan ber-AC dan diberikan obat-obatan untuk
menjaga kondisi sapi. Sapi dari Brazil tidak perlu lagi memakan waktu untuk masa karantina.
Keempat, jenis sapi yang berasal dari Brazil memiliki genetic yang serupa dengan sapi
dari India. Sapi ini memiliki karakteristik dan sifat yang mampu beradaptasi dengan iklim di
Indonesia.
Kelima, Kerjasama Indonesia-Brazil tidak hanya menempatkan Indonesia sebagai
konsumen. Hubungan ini bersifat simbiosis mutualisme. Dalam arti Indonesia bisa melakukan
ekspor berupa obat-obatan peternakan, seperti yang dilakukan pada tahun 2017. Kemitraan
antar negara berkembang ini sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut baik dalam
bidang peternakan maupun dalam bidang lain.
Trajektori Swasembada
Hubungan bilateral Indonesia-Brazil membangunkan kembali cita-cita swasembada
daging. Karena itu impor sapi harus dibaca sebagai strategi jangka panjang pemerintah untuk
meningkatkan produksi ternak dalam negeri yang saat ini hanya mencapai sekitar 18 juta ekor
sapi potong di tahun 2022 dan sekitar 500 ribu ekor sapi perah pada tahun 2022. Swasembada
bisa tercapai jika dan hanya jika ternak impor sapi bakalan bisa dioptimalisasi hingga mencapai
titik surplus produksi.
Untuk mencapai tujuan itu, dibutuhkan upaya yang serius dan komprehensif dari
pemerintah. Upaya yang dimaksud adalah dengan membuat rencana strategis di level hilir yang
berkelanjutan. Ini tidak mudah untuk dilakukan jika hanya retorika politis yang menguntungkan
oligarki semata. Ide swasembada itu menjadi persoalan besar bangsa yang tak kunjung
terwujud sejak tahun 2000 karena tersandera oleh regulasi dan kepentingan politik.
Maka pertanyaan serius swasembada daging sapi, apakah cita-cita ini nantinya hanya
akan menjadi kepentingan korporasi dan oligarki. Trajektori swasembada sapi harus dipijakkan
di atas kepentingan rakyat. Artinya, dalam proyek swasembada keberhasilan terjadi jika banyak
masyarakat yang dilibatkan dalam produksi. Tingkat produksi ternak sapi berkorelasi positif
dengan banyaknya masyarakat yang mendapatkan manfaat finansial dari aktivitas ekonomi
tersebut.