By Dwijo Suyono
JOURNALJOGJA-SLEMAN-Dalam dua tahun ke depan, bangsa Indonesia akan menghelat hajatan politik pemilu dariskala nasional hingga daerah, baik legislatif maupun eksekutif. Keserentakan pemilu ini menjadi pemilu yang terbesar di seluruh dunia. Apalagi dengan jumlah partai politik yang tidak sedikit dan calon legislatif yang sedemikian banyak, kontestasi politik ini menjadi sedemikian kompleks dan variatif. Sistem pemilu yang proporsional terbuka, dimana pemilih dapat juga memilih calon legislatif, membuat persaingan tidak terbatas antar partai politik tetapi juga antar calog legislatif dari internal partai masing-masing. Demikian pengantar yang dikemukakan oleh Dr. Untoro Hariadi, M.Si. , selaku ketua Forum 2045 dalam pembukaan FGD Forum 2045 yang mengusung tema Common Project Rekonsiliasi dan Reintegrasi Nasional yang berlangsung pada Selasa (15/11-2022) di gedung UC UGM.
Yang akan kita berikan ialah sebuah pencerahan dimana persaingan yang akan muncul tentu saja akan mengangkat berbagai persoalan persoalan yang tidak hanya membelah masyarakat dalam dua atau tiga kubu tetapi menjadikan masyarakat berkeping-keping kecil. belajar dari dua pengalaman pemilu nasional di tahun 2014 dan 2019 serta beberapa pemilu kepala daerah, polarisasi menjadi semakin ekstrim dan tidak terkendali. Terakhir dan sampai sekarang masih tersisa residunya adalah pertentangan dua kubu “kampret” dan “cebong”. Polarisasi politik ini tidak hanya bekerja di kelompok sosial yang berbeda, bahkan secara efektif meruyak kelompok sosial yang sama. Kelompok Islam misalnya, sangat terbelah dengan pengelompokan Islam moderat dan Islam radikal. Atau dalam hal kesukuan, kelompok masyarakat Jawa sangat terbelah karena mendukung nasionalis atau Islam. Begitu seterusnya. Tentu saja realitasnya lebih kompleks dari gambaran di atas. Polarisasi ini terjadi baik menjelang pemilu (pra election) maupun pasca pemilu (postelection). Sayangnya, polarisasi ini dieksploitasi dan dikapitalisir menjadi suara di kotak-kotak pemilu. Masyarakat dikonversi menjadi kertas-kertas suara yang lebih mudah dihitung jika terkotak secara eksak. Paparnya.
Lebih lanjut Untoro Hariadi juga menjelaskan bahwa inilah saatnya dunia perguruan tinggi ikut aktif berpartisipasi dalam mencerdaskan anaka bangsa untuk persatuan dan kesatuan.
Sementara dalam paparannya salah seorang narasumber yakni Dr. Wahyu Riawanti,M.P menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini menjadi sangat cepat sehingga penggunaan ruang media dalam konteks digitalisasi menjadi sangat luas. Dan peran media Sosial menjadi hal sangat signifikan dalam dseminasi informasi.
Dari data yang kami dapatkan bahwa Indonesia menempati peringkat paling buruk dalam tingkat kesopanan di media sosial , ini masuk dalam Digital Civility Index atau DCI , bahkan ada tiga hal yang cukup dominan yakni Hoax Ujaran Kebencian serta diskriminasi, nah inilah kualitas yang harus kita perbaiki di masa datang, ujar pegawai Pemda DIY ini.
Salah seorang politikus yang hadir yang juga sebagai inisiator acara FGD ini yakni Willy Aditya dalam keterangannya mengemukakan bahwa pihaknya ingin mengajak semua masyarakat Indonesia untuk berfikir kesatuan dan persatuan, sehingga apa yang dilakukan oleh semua pihak termasuk partai politik juga harus bertumpu kepada hal hal tersebut.
Sehingga tidak ada lagi kubu kubuan , atau hal apapun yang menempatkan kita pada kotak kotak yang berbeda sehingga nantinya akan menimbulkan perpecahan , untuk itulah forum ini di bentuk dangan kegiatan yang mencerdaskan anak bangsa , dan hal ii akan kita gelar di berbagai daerah di Indonesia , ujar politisi Partai Nasdem ini.
Kegiatan FGD ini di hadiri oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi yang ada . (dwi)