By Dwijo Suyono
JOURNALJOGJA-YOGYAKARTA -- Rhetno Arobiatul Jauzak adalah santriwati Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta peraih fellowship untuk mendalami kehidupan beragama serta dialog antar kepercayaan di Chicago Amerika Serikat (AS).
Sebagai bagian dari delegasi Indonesia peserta program interfaith Kementerian Agama RI bekerja sama dengan LPDP (Dana Abadi Pesantren) dan USAID serta bekerja sama dengan American Islamic College (AIC) dan Lutheren School of Theology at Chicago (LSTC), Rhetno angkat bicara soal chaplaincy muslim.
Melalui keterangan tertulis, Selasa (10/12/2024), dia menyampaikan seputar perbedaan chaplaincy Muslim, psikolog dan bimbingan konseling (BK).
Disebutkan, pelayanan mental dan spiritual memiliki peran penting dalam kesejahteraan individu. “Di Indonesia, terdapat beberapa profesi yang fokus pada dukungan ini yakni chaplaincy Muslim, psikolog dan konselor bimbingan (BK),” kata Rhetno.
Perempuan yang aktif di JPPPM (Jamiyyah Pengasuh Pondok Pesantren) serta organisasi Fatayat NU DIY itu menyatakan tiga bidang itu memiliki pendekatan dan tujuan yang berbeda.
Dia menjelaskan, Chaplaincy Muslim adalah pelayanan spiritual berbasis agama Islam yang bertujuan mendukung kesejahteraan rohani individu, baik Muslim maupun non-Muslim, terutama dalam situasi krisis seperti penyakit, kematian atau trauma.
“Chaplain Muslim memberikan dukungan spiritual holistik dan bimbingan iman, dengan tujuan memperkuat hubungan dengan Tuhan dan memberikan makna hidup dalam menghadapi tantangan,” jelasnya.
Untuk menjadi seorang chaplain Muslim profesional, lanjut dia, seseorang harus menjalani pelatihan dan sertifikasi yang ketat, memenuhi standar internasional sebelum menyandang gelar "Ch" di depan namanya. Proses ini mencakup pendidikan formal, pengalaman praktikum dan evaluasi kompetensi dalam pelayanan rohani.
Saat ini, lanjut dia, chaplaincy Muslim di Indonesia masih dalam tahap perkembangan dan belum terlalu dikenal luas, meskipun potensi untuk berkembang sangat besar mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia.
“Meskipun ada beberapa profesi yang terkait dengan pelayanan spiritual, seperti rohaniawan, imam atau dai, konsep chaplaincy Muslim dengan standardisasi global yang menggabungkan pelayanan rohani dengan profesionalisme dalam lingkungan multikultural dan multireligius saat ini masih relatif baru,” ungkapnya.
Dia optimistis Chaplaincy Muslim berpotensi besar untuk berkembang, mengingat tantangan sosial dan psikologis yang dihadapi masyarakat.
Chaplain Muslim dapat berperan tidak hanya dalam ritual agama, tetapi juga mendukung kesehatan mental dan harmoni sosial, memberikan pendekatan spiritual yang inklusif dan relevan dengan prinsip-prinsip Islam.
Terkait dengan psikolog, Rhetno menyampaikan psikolog berfokus pada penanganan masalah psikologis dan emosional, seperti depresi, kecemasan atau stres, dengan pendekatan ilmiah melalui terapi dan konseling. “Psikolog menggunakan metode berbasis ilmu psikologi untuk membantu individu mengatasi masalah mental mereka,” tambahnya.
Sedangkan Bimbingan Konseling atau BK bertujuan membantu individu dalam pengembangan diri, menyelesaikan masalah sosial, pendidikan dan karier. Layanan ini fokus pada masalah sehari-hari, seperti hubungan interpersonal dan pengambilan keputusan.
Rhetno menyimpulkan, Chaplaincy Muslim menonjol dengan pendekatan spiritual berbasis agama, mendukung individu dalam kesejahteraan rohani dan mental, serta membantu dalam krisis spiritual.
Ini berbeda dengan psikolog yang fokus pada masalah mental menggunakan pendekatan ilmiah dan BK yang fokus pada masalah sosial dan pengembangan diri.
“Dengan proses sertifikasi yang ketat, chaplaincy Muslim di Indonesia memiliki potensi besar memberikan pelayanan yang seimbang antara aspek spiritual dan mental dalam mendukung masyarakat,” kata dia.
Selama di Chicago, Rhetno merasakan masyarakat di negara itu ramah terhadap Muslim. Dia juga banyak mendapat pengalaman langsung terkait dialog antarkepercayaan atau interfaith.
Suatu saat, dia makan bersama komunitas Muslim di Lutheran School of Theology. Meskipun bukan institusi Muslim, kampus itu memastikan makanan yang disajikan halal dan menghormati kepercayaan tamunya.
Pengalaman lainnya adalah saat mengikuti salat Jumat di University of Chicago. Umat Muslim menggunakan gereja secara bergantian. Dirinya merasa beruntung menjadi delegasi dari Indonesia dalam rangka memperkuat hubungan bilateral kedua negara. (*)